Sabtu, 12 Maret 2016

NILAI BUDAYA Dan Adat LEBARAN KETUPAT di Lombok


Selain wisata alam yang tersebar di berbagai penjuru, di Pulau Lombok dengan terdapat sangat banyak sekali liburan budaya, diantaranya sebagai “TRADISI PERANG TOPAT” yang adalah adat istiadat turun temurun yang sejak dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di Lombok pada saat lampau. Adat itu di lakukan serta trik saling lempar serta memakai ketupat diantara Ummat Islam serta Ummat Hindu Lombok. Dengan memanfaatkan pakaian adat istiadat khas Sasak dan Bali ribuan warga Sasak dengan umat Hindu bersama-sama serta damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap season di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Hukum adat Perang Topat yang diadakan di Pura ternama pada Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) itu ialah pencerminan dari kerukunan umat beragama pada Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi yaitu sarana persembahyangan serta prosesi itu didominasi masyarakat Sasak serta berbagai tokoh umat Hindu yang berada pada Pulau Lombok. Media persembahyangan mirip kebon odek, sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.

Prosesi lalu dan dan perang topat, bertepatan dan gugur bunga waru atau pada bahasa Sasaknya “rorok kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari satu kota pukul 17.30. Perang topat sebagai rangkaian pelaksanaan upacara pujawali adalah upacara adalah tafsiran rasa syukur umat manusia yang sudah diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah bagi Sosok Pencipta.

NILAI BUDAYA DARI Adat LEBARAN KETUPAT di Lombok

Di perayaan Lebaran Topat dalam Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, anda berhasil mengetahui kalau perayaan ini mengandung 2 dimensi yaitu dimensi sakral dengan sosial. Dimensi sakral berkaitan dengan persepsi juga pengharapan bagi Tuhan Yang Maha Kuasa dan dimensi sosial berkaitan serta upaya menjaga harmoni kehidupan para jawara inggris raya sesama.

Penggunaan arti Lebaran Nine atau lebaran wanita kepada Lebaran Topat memperlihatkan kalau Lebaran itu mempunyai posisi krusial dalam ekspresi keislaman masyarakat Lombok. Lebaran Topat merupakan pasangan Lebaran Mame (Idul Fitri). Tapi dikarenakan itu, perayaan Lebaran Topat agaknya mempunyai tujuan yang sejenis serta Lebaran puasa Ramadhan. Sebagai untuk mencapai kehidupan yang fitri, suci.

Penggunaan ketupat yang berbentuk segi empat yaitu nama Lebaran dan menu makan utamanya merupakan khasanah kearifan lokal seluruh kalangan demi mengingatkan manusia kepada datang muasalnya. Ketupat berbentuk segi empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dengan angin.

Lebaran Topat juga berhasil diartikan menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dengan membersihkan batin dari sikap dengki serta iri hati seusai nuraninya terjerembab menurut ego serta kemeriahan budaya materi yang semu. Ritual berseraup atau membasuh muka dan air memberikan makna kalau jalan ini yaitu cara demi membersihkan kotoran yang melekat pada wajah. Kalau wajah dan hatinya bersih, maka orang tersebut tak akan sakit prima menelusuri fisik maupun mental.

Mengambil air pada Lingkok Mas mengantongi ungkapan bahwa air laksana emas yang mahal harganya juga sangat penentuan kepada kehidupan manusia. Oleh karena itu, air mesti dijaga kebersihannya agar tidak tercemar oleh beberapa limbah yang bisa menyebabkan makhluk hidup menjadi sakit, dan tanaman bukan dapat tumbuh juga berkembang. Sementara acara besambek bertujuan untuk manusia santai menjalani kehidupan, alam pikiran tetap jernih, terbebas dari beberapa bermacam gangguan (jin juga setan) termasuk demi mendapatkan rezeki yang halal. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah Sasak :

Pepatah dalam menghadapi mengandung pesan bahwa menyantap makanan hasil keringat sendiri terasa lebih nikmat, ketimbang disuguhkan makanan yang lezat tapi didapat serta strategi yang tak halal.

Selain itu, Lebaran Topat juga sukses menjadi otokritik serta introspeksi buat manusia demi tentang kembali jati dirinya sehabis lewati perjalanan hidup selama seorang tahun, yang banyak diwarnai dan dosa individual dan dosa sosial. Pepatah Sasak menuturkan “dendek ipuh pantok gong” (tidak usah segan memukul/membunyikan gong). Pepatah ini mengingatkan manusia untuk mengoreksi diri, di antaranya terbentang kepada rekomendasi dengan kritik orang lain. Selain ini, event makan ketupat bersama-sama menunjukkan masih terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan di diantara mereka.

Namun demikian, banyaknya potensi yang terkandung dalam perayaan Lebaran Topat, khususnya aspek ekonominya, wajib disikapi menelusuri bijaksana. Kesalahan dalam menyikapinya, tidak mustahil bakal menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga aktifitas ritual itu sekedar akan menjadi pesta rakyat yang kehilangan ruhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar